Kamis, 16 November 2017

KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGAN

Tugas Kebijakan Peraturan Perundangan                                    Medan,   November2017
KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN



Dosen Penanggung Jawab:
Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si.
Disusun Oleh:
Yolanda Safitri Ks
151201120
THH 5







                                


 Description: logo usu untuk semua png













PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

1.      Pengertian dan ruang lingkup peraturan perundangan
Peraturan perundangan adalah sebuah peraturan dalam bentuk tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum serta di bentuk ataupun ditetapkan oleh lembaga yang berwenang melalui prosedur yang telah sebelumnya. 
Peraturan perundang undangan memiliki beragam landasan hukum yakni antara lain, Pasal 22A UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya, dijabarkan dalam UU RI No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan perundang-undangan harus dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atau lembaga legislatif. Dengan demikian, terdapat struktur atau tata perundang-undangan dalam suatu negara. Pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga yang lebih rendah mesti mengacu atau tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh lembaga yang lebih tinggi.
Secara etimologis Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan.
Menurut Penulis istilah perundang-undangan untuk menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang. Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus:
1.bersifat tertulis
2.mengikat umum
3.dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang

2.      Hubungan dan perbedaan antara kebijakan dan peraturan perundangan
J. Mannoury (Laica Marzuki, 1996: 2) memandang peraturan kebijakan (beleidsregel) ibarat “speiegelrecht”: (hukum cermin), yakni hukum yang hadir dari pantulan cermin. Baginya, ”speigelrecht” bukan hukum melainkan sekedar mimpi hukum (….niat als recht, maar als spegeling van recht-op recht galijked-beschoul) J Van Der Hovven memandang peraturan kebijakan (beleidsregel) adalah “pseudowetgeving” (perundang-undangan semu) karena pembuatannya tidak didukung  oleh kewenangan perundang-undangan. Sementara para warga hampir-hampir tidak dapat membedakan peraturan kebijakan (beleidsregel) dari  peraturan perundang-undangan. Dari pandangan tersebut terdahulu nampak lebih moderat bila peraturan kebijakan dipandang sebagai hukum tetapi bukan peraturan perundang-undangan.
Istilah beleidsregel digunakan pada tahun 1982, dalam risalah yang disusun oleh commisie wetgevingsvraagstukken, walaupun digunakan secara bersamaan dengan istilah-istilah “pseudo-wetgeving”,  “bekang makingan van voorgenomen beleid, “algemene beleidsregels”. Dalam tahun 1982 pula, kelompok kerja (staartwerkgroep wet algemene regels van bestrecht (Wet ARB) juga menggunakan istilah beleidsregels dalam rancangan mereka (J.H. van Kreveld, 1983: 3 -5).
Sesungguhnya keberadaan peraturan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas  dari pemerintah yang dikenal dengan  istilah freis ernessen. Dengan kata lain kewenangan  badan atau pejabat tata usaha negara mengeluarkan peraturan kebijakan didasarkan pada asas kebebasan bertindak yang dimilikinya (beleidsvrijheid atau beorde lingsvrijheid).
Markus Lukman (1997: 205) menguraikan bahwa freis ernessen dalam bahasa Jerman  berasal dari kata frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan ernessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan. Freis ernessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu.
Istilah ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freis ernessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus dituntut sepenuhnya oleh peraturan perundang-undangan.
Apabila dihubungkan dengan negara kita, freis ernessen muncul bersamaan dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisasikan tujuan negara seperti yang tercantum dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, yang menegaskan “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bnagsa dan ikut melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial.”
Oleh karena tugas utama pemerintah dalam konsepsi welfare state itu memberikan pelayanan bagi warga negara, maka muncul prinsip “pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundangan yang mengaturnya.” Melainkan sebaliknya diharuskan menemukan dan memberikan penyelesaian sesuai prinsip freis ernessen yang diberikan kepadanya.
Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas atau freis ernessen, namun dalam suatu negara hukum penggunaan freis ernessen ini harus dalam  batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku.
Menurut Muchsan (1981: 27) pembatasan penggunaan freis ernessen adalah:
1.      Penggunaan freis ernessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).
2.      Penggunaan freis ernessen hanya ditujukan demi kepentingan umum.
Sementara Sajhran Basah (1985: 151) berpendapat bahwa pelaksanaan  freis ernessen tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan derajat martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi  kepentingan bersama.
Dengan demikian anatara peraturan kebijkaan dan freis ernessen ibarat hubungan antara anak dan ibu. Atau dapat dikatakan peraturan kebijkan merupakan bentuk spesies dari kebijakan perwujudan freis ernessen.
Freis ernessen itu sendiri lahir secara sadar oleh pembuat peraturan perundang-undangan  karena tidak dapat mengaturnya secara tuntas dan tepat, sehingga diberi ruang kebebasan kepada tata usaha negara untuk menentukan  sendiri apa yang selayaknya dilakukan.  Bila demikian, freis ernessen sendiri tidak dapat  dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, terlebih lagi peraturan kebijakan sungguh tidak dapat disebut sebagai bagian dari dan bentuk peraturan perundang-undangan.
Dewasa ini peraturan kebijakan ada yang sifatnya peraturan murni dan berlaku umum dan ada pula yang berwatak tidak berupa peraturan murni dan tidak terlalu umum, melainkan hanya bersifat institusional dan berlaku ke dalam.
J.H. Van Kreveld (Markus Lukman, 1997: 121 ) mengemukakan, ciri utama dari peraturan kebijkan adalah:
1.      Pembentukan peraturan kebijkan tidak didasarkan pada ketentuan yang tegas-tegas bersumber dari atribusi atau delegasi undang-undang.
2.      Pembentukannya dapat tertulis  dan tidak tertulis yang bersumber pada kewenangan bebas bertindak instansi pemerintah atau hanya didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum yang memberikan ruang kebijaksanaan kepada badan atau pejabat tata usaha  untuk atas inisiatif tersendiri mengambil tindakan hukum publik yang bersifat mengatur maupun penetapan.
3.      Redaksi atas isi peraturan bersifat luwes dan umum tanpa menjelaskan kepada warga masyarakat tentang bagaimana seharusnya instansi pemerintah melaksanakan kewenangan bebasnya terhadap warga masyarakat dalam situasi yang ditentukan (dikenai) suatu peraturan.
4.      Redaksi peraturan yuridis kebijkan  di negara belanda ada yang dibentuk mengikuti format peraturan perundangan biasa, dan diumumkan secara resmi dalam berita berkala pemerintah, walaupun di dalam konsiderannya tidak menunjuk kepada undang-undang yang memberikan wewenang pembentukannya kepada badan pemerintah yang bersangkutan.
5.      Dapat pula ditentukan sendiri format yuridisnya oleh pihak pejabat atau badan tata usaha negara yang memilki ruang kebijkasanaan untuk itu.
Menurut Marcus Lukman (1997: 19) ciri-ciri tersebutlah yang membedakan peraturan kebijakan dengan peraturan perundang-undangan murni yang secara nyata, tegas, dan jelas diperintahkan pembentukannya oleh peraturan perundang-undangan tingkat atasan (bersifat atribusi dan delegasi).
Walaupun  peraturan kebijakan berbeda dengan peraturan perundang-undangan murni, namun dalam praktek secara hukum  ia diberlakukan dan dilaksanakan sebagaimana layaknya peraturan perundang-undangan biasa. Menurut Belifante (1985: 84) bahwa peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan, akan tetapi di dalam banyak hal peraturan kebiakan juga berwatak peraturan oerundang-undangan seperti mengikat secara umum di mana masyarakat tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya

3.      Permasalahan dan isu seputar implementasi kebijakan kehutanan di Indonesia
Implementasi merupakan pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengindikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.
Kegiatan kehutanan yang bernuansa kemasyarakatan bukan tidak pernah dilakukan, sejak tahun 1870-an ketika sistem tumpangsari dikenalkan Buurman pada pembangunan hutan jati di Jawa, sejak saat itu persoalan kemiskinan rakyat pedesaan sudah dalam bingkai yang tidak lepas dalam proses pembangunan hutan di Jawa. (Awang, San A. 2003:89). Sejauh ini teknologi tumpangsari tetap belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nyatanya kemiskinan struktural belum dapat diselesaikan di Jawa. Kegiatan Social Forestry, Penghijauan, PMDH Terpadu, Bina Desa Hutan, PHPMT, LDTI Lampung Barat, HKm, dan lain-lain, adalah cikal bakal dari CBFM yang konsepnya dibangun sepihak atas kepentingan pemerintah/PT. Perhutani. PHBM/CBFM yang dikembangkan di Indonesia hendaknya bertumpu pada filosofi sebagai berikut:
(a) Penyelesaian masalah konflik lahan hutan antara masyarakat dengan Perhutani, masyarakat Magersaren dengan Perhutani, masyarakat adat dengan HPH, masyarakat adat dengan pemerintah, apakah akan menggunakan model land reform atau menggunakan model sewa selama 50 tahun kemudian dapat diperbaruhi kembali
(b) Menjamin dan membangun keadilan sosial dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin di pedesaan, terutama mereka yang tidak memiliki lahan untuk kehidupan
(c) PHBM sebagai instrumen untuk mewujudkan model desentralisasi dan devolusi pengelolaan SDAH di Indonesia untuk mencapai kemandirian daerah dalam menyelesaikan banyak hal tentang hutan, lahan dan lain-lain
(d) PHBM hendaknya dijadikan pintu masuk “pembuka” untuk memulai dialog kebijakan yang interaktif, terbuka, adil dan demokratis tentang pengelolaan SDAH di Indonesia.  
4.      Hirarki peraturan perundangan di Indonesia
Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sebelum menuju pada poin utama Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia menurut UU No. 12 Tahun 2012, tak ada salahnya kita juga mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi sebelumnya. Berikut merupakan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia di masa sebelumnya.
Tata perundang-undangan diatur dalam :
1.    Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia.
Urutannya yaitu :
1)       UUD 1945;
2)       Ketetapan MPR;
3)       UU;
4)       Peraturan Pemerintah;
5)       Keputusan Presiden;
6)       Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
2.    Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Undang-Undang.
Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :
1)       UUD 1945;
2)       Tap MPR;
3)       UU;
4)       Peraturan pemerintah pengganti UU;
5)       PP;
6)       Keppres;
7)       Peraturan Daerah;
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
3.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1)       UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)       UU/Perppu;
3)       Peraturan Pemerintah;
4)       Peraturan Presiden;
5)       Peraturan Daerah.
Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.
4.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1)       UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)       Ketetapan MPR;
3)       UU/Perppu;
4)       Peraturan Presiden;
5)       Peraturan Daerah Provinsi;
6)       Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

5.      Tahapan dan proses lahirnya suatu kebijakan
Tahap- tahap kebijakan public menurut William Dunn adalah sebagai berikut:
1.      Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik dalam proses ilmiah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah public dan prioritas dalam agenda public dipertarungkan. Jeika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah public, dan mendapatkan prioritas dalam agenda public maka isu tersebut berhak mendapatkan aloksai sumber daya public yang lebih daripada isu lain.
2.      Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudiam dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah tadi didefinisikan kemudian dicari pemecah masalahn yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasalh dari berbagai alternative atau pilihan kebijakan yang ada.
3.      Adopsi/ legitimasi kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otoritas pada proses dasar pemerintahan. Jika suatu legistimasi dalam suatu masyarakat diattur oleh kedaulatan rakyat, warga Negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga nefara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah mendukung.
4.      Penilaian evaluasi kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian evaluasi kebijakan bias meliputi tahap perumusan masalah- masalah kebijakan, program- program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebjakan, implementasi maupun tahap dampak kebijakan.
6.      Kebijakan ekonomi pengusahaan hutan di Indonesia
Beberapa peranan sumberdaya hutan dalam menggerakkan perekonomian suatu negara atau wilayah/daerah berikut ini.
1. Peranan Sumberdaya Hutan sebagai Penghasil Devisa
2. Peranan Sumberdaya Hutan sebagai Penggerak Sektor Ekonomi Lainnya
3. Peranan Sumberdaya Hutan dalam Penyediaan Lapangan Kerja
4. Peranan Sumberdaya Hutan dalam Meningkatkan Pendapatan Nasional
5. Peranan Sumberdaya Hutan dalam Pelayanan Jasa Lingkungan

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005. Bab 32 tentang Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup.
 Presiden RI. 2007. UU No 27 Tahun 2007 tentang RPJP 2005-2025. Setneg RI.
Riana, T. 2009. Hukum Lingkungan dalam Bidang Ilmu Hukum. Diunduh Melalui . [12/01/09].
Santosa, M. A. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. ICEL. Jakarta: YLBHI.
Soemarwoto, O. 1994. Ekologi Lingkungan dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.
Soerjani. 1987. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar. Jakarta: Sinar Grafika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar