Tugas Kebijakan Peraturan Perundangan Medan, November2017
KEBIJAKAN
DAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
Dosen
Penanggung Jawab:
Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si.
Disusun Oleh:
Yolanda
Safitri Ks
151201120
THH 5

PROGRAM
STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS
KEHUTANAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2017
KEBIJAKAN
DAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
1. Pengertian dan ruang lingkup
peraturan perundangan
Peraturan
perundangan adalah sebuah peraturan dalam bentuk tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum serta di bentuk ataupun ditetapkan oleh
lembaga yang berwenang melalui prosedur yang telah sebelumnya.
Peraturan perundang undangan memiliki beragam landasan hukum yakni antara lain,
Pasal 22A UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembentukan undang-undang yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya,
dijabarkan dalam UU RI No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Peraturan perundang-undangan harus dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atau
lembaga legislatif. Dengan demikian, terdapat struktur atau tata
perundang-undangan dalam suatu negara. Pada peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh lembaga yang lebih rendah mesti mengacu atau tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh lembaga yang
lebih tinggi.
Secara
etimologis Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan
awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an menunjukkan arti segala hal yang
berhubungan dengan undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian
perundang-undangan belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli
sebagian besar ketika sampai pada persoalan apakah perundang-undangan
mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari
pembuatan perundang-undangan.
Menurut Penulis istilah perundang-undangan untuk
menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan
Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan
keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan
Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan
berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis) yang mempunyai
kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang
berwenang. Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan
Perundang-undangan menurut penulis, berturut-turut harus:
1.bersifat tertulis
2.mengikat umum
3.dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang
2.
Hubungan dan perbedaan
antara kebijakan dan peraturan perundangan
J.
Mannoury (Laica Marzuki, 1996: 2) memandang peraturan kebijakan (beleidsregel) ibarat “speiegelrecht”:
(hukum cermin), yakni hukum yang hadir dari pantulan cermin. Baginya, ”speigelrecht”
bukan hukum melainkan sekedar mimpi hukum (….niat als recht, maar als
spegeling van recht-op recht galijked-beschoul) J Van Der Hovven
memandang peraturan kebijakan (beleidsregel) adalah “pseudowetgeving”
(perundang-undangan semu) karena pembuatannya tidak didukung oleh
kewenangan perundang-undangan. Sementara para warga hampir-hampir tidak dapat
membedakan peraturan kebijakan (beleidsregel) dari
peraturan perundang-undangan. Dari pandangan tersebut terdahulu nampak lebih
moderat bila peraturan kebijakan dipandang sebagai hukum tetapi bukan peraturan
perundang-undangan.
Istilah beleidsregel digunakan
pada tahun 1982, dalam risalah yang disusun oleh commisie
wetgevingsvraagstukken, walaupun digunakan secara bersamaan dengan
istilah-istilah “pseudo-wetgeving”, “bekang makingan
van voorgenomen beleid, “algemene beleidsregels”. Dalam tahun 1982
pula, kelompok kerja (staartwerkgroep wet algemene regels van bestrecht (Wet
ARB) juga menggunakan istilah beleidsregels dalam
rancangan mereka (J.H. van Kreveld, 1983: 3 -5).
Sesungguhnya
keberadaan peraturan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan
bebas dari pemerintah yang dikenal dengan istilah freis
ernessen. Dengan kata lain kewenangan badan atau pejabat tata usaha
negara mengeluarkan peraturan kebijakan didasarkan pada asas kebebasan
bertindak yang dimilikinya (beleidsvrijheid atau beorde lingsvrijheid).
Markus
Lukman (1997: 205) menguraikan bahwa freis ernessen dalam
bahasa Jerman berasal dari kata frei yang artinya bebas,
lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang bebas,
tidak terikat dan merdeka. Sedangkan ernessen berarti
mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan. Freis ernessen berarti
orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan
sesuatu.
Istilah
ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freis
ernessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang
bergerak bagi pejabat atau badan administrasi negara untuk melakukan tindakan
tanpa harus dituntut sepenuhnya oleh peraturan perundang-undangan.
Apabila
dihubungkan dengan negara kita, freis ernessen muncul
bersamaan dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisasikan tujuan
negara seperti yang tercantum dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, yang
menegaskan “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bnagsa dan ikut
melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang
abadi dan keadilan sosial.”
Oleh
karena tugas utama pemerintah dalam konsepsi welfare state itu
memberikan pelayanan bagi warga negara, maka muncul prinsip “pemerintah tidak
boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan tidak
ada peraturan perundangan yang mengaturnya.” Melainkan sebaliknya diharuskan
menemukan dan memberikan penyelesaian sesuai prinsip freis ernessen yang
diberikan kepadanya.
Meskipun
kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas atau freis ernessen,
namun dalam suatu negara hukum penggunaan freis ernessen ini
harus dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku.
Menurut
Muchsan (1981: 27) pembatasan penggunaan freis ernessen adalah:
1. Penggunaan freis ernessen tidak
boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).
2. Penggunaan freis ernessen hanya
ditujukan demi kepentingan umum.
Sementara
Sajhran Basah (1985: 151) berpendapat bahwa pelaksanaan freis ernessen tersebut
harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan derajat martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi
kepentingan bersama.
Dengan
demikian anatara peraturan kebijkaan dan freis ernessen ibarat
hubungan antara anak dan ibu. Atau dapat dikatakan peraturan kebijkan merupakan
bentuk spesies dari kebijakan perwujudan freis ernessen.
Freis
ernessen itu sendiri lahir secara sadar oleh pembuat peraturan
perundang-undangan karena tidak dapat mengaturnya secara tuntas dan
tepat, sehingga diberi ruang kebebasan kepada tata usaha negara untuk
menentukan sendiri apa yang selayaknya dilakukan. Bila
demikian, freis ernessen sendiri tidak dapat
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, terlebih lagi peraturan
kebijakan sungguh tidak dapat disebut sebagai bagian dari dan bentuk peraturan
perundang-undangan.
Dewasa
ini peraturan kebijakan ada yang sifatnya peraturan murni dan berlaku umum dan
ada pula yang berwatak tidak berupa peraturan murni dan tidak terlalu umum,
melainkan hanya bersifat institusional dan berlaku ke dalam.
J.H. Van
Kreveld (Markus Lukman, 1997: 121 ) mengemukakan, ciri utama dari peraturan
kebijkan adalah:
1. Pembentukan
peraturan kebijkan tidak didasarkan pada ketentuan yang tegas-tegas bersumber
dari atribusi atau delegasi undang-undang.
2. Pembentukannya
dapat tertulis dan tidak tertulis yang bersumber pada kewenangan bebas
bertindak instansi pemerintah atau hanya didasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum yang memberikan ruang kebijaksanaan
kepada badan atau pejabat tata usaha untuk atas inisiatif tersendiri
mengambil tindakan hukum publik yang bersifat mengatur maupun penetapan.
3. Redaksi
atas isi peraturan bersifat luwes dan umum tanpa menjelaskan kepada warga
masyarakat tentang bagaimana seharusnya instansi pemerintah melaksanakan
kewenangan bebasnya terhadap warga masyarakat dalam situasi yang ditentukan
(dikenai) suatu peraturan.
4. Redaksi
peraturan yuridis kebijkan di negara belanda ada yang dibentuk mengikuti
format peraturan perundangan biasa, dan diumumkan secara resmi dalam berita
berkala pemerintah, walaupun di dalam konsiderannya tidak menunjuk kepada
undang-undang yang memberikan wewenang pembentukannya kepada badan pemerintah
yang bersangkutan.
5. Dapat
pula ditentukan sendiri format yuridisnya oleh pihak pejabat atau badan tata
usaha negara yang memilki ruang kebijkasanaan untuk itu.
Menurut
Marcus Lukman (1997: 19) ciri-ciri tersebutlah yang membedakan peraturan
kebijakan dengan peraturan perundang-undangan murni yang secara nyata, tegas,
dan jelas diperintahkan pembentukannya oleh peraturan perundang-undangan
tingkat atasan (bersifat atribusi dan delegasi).
Walaupun
peraturan kebijakan berbeda dengan peraturan perundang-undangan murni, namun
dalam praktek secara hukum ia diberlakukan dan dilaksanakan sebagaimana
layaknya peraturan perundang-undangan biasa. Menurut Belifante (1985: 84) bahwa
peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan, akan tetapi
di dalam banyak hal peraturan kebiakan juga berwatak peraturan
oerundang-undangan seperti mengikat secara umum di mana masyarakat tidak ada
pilihan lain kecuali mematuhinya
3.
Permasalahan dan isu seputar
implementasi kebijakan kehutanan di Indonesia
Implementasi merupakan pelaksanaan keputusan
kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif atau keputusan badan
peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengindikasikan masalah yang ingin
diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan
berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.
Kegiatan kehutanan yang bernuansa kemasyarakatan
bukan tidak pernah dilakukan, sejak tahun 1870-an ketika sistem tumpangsari
dikenalkan Buurman pada pembangunan hutan jati di Jawa, sejak saat itu
persoalan kemiskinan rakyat pedesaan sudah dalam bingkai yang tidak lepas dalam
proses pembangunan hutan di Jawa. (Awang, San A. 2003:89). Sejauh ini teknologi
tumpangsari tetap belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nyatanya
kemiskinan struktural belum dapat diselesaikan di Jawa. Kegiatan Social
Forestry, Penghijauan, PMDH Terpadu, Bina Desa Hutan, PHPMT, LDTI Lampung
Barat, HKm, dan lain-lain, adalah cikal bakal dari CBFM yang konsepnya dibangun
sepihak atas kepentingan pemerintah/PT. Perhutani. PHBM/CBFM yang dikembangkan
di Indonesia hendaknya bertumpu pada filosofi sebagai berikut:
(a) Penyelesaian masalah konflik lahan hutan antara
masyarakat dengan Perhutani, masyarakat Magersaren dengan Perhutani, masyarakat
adat dengan HPH, masyarakat adat dengan pemerintah, apakah akan menggunakan
model land reform atau menggunakan model sewa selama 50 tahun kemudian dapat
diperbaruhi kembali
(b) Menjamin dan membangun keadilan sosial dan
perlindungan sosial bagi masyarakat miskin di pedesaan, terutama mereka yang
tidak memiliki lahan untuk kehidupan
(c) PHBM sebagai instrumen untuk mewujudkan model
desentralisasi dan devolusi pengelolaan SDAH di Indonesia untuk mencapai
kemandirian daerah dalam menyelesaikan banyak hal tentang hutan, lahan dan
lain-lain
(d) PHBM hendaknya dijadikan pintu masuk “pembuka”
untuk memulai dialog kebijakan yang interaktif, terbuka, adil dan demokratis
tentang pengelolaan SDAH di Indonesia.
4.
Hirarki peraturan
perundangan di Indonesia
Hierarki
maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sebelum
menuju pada poin utama Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia menurut UU
No. 12 Tahun 2012, tak ada salahnya kita juga mengetahui perubahan-perubahan
yang telah terjadi sebelumnya. Berikut merupakan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Indonesia di masa sebelumnya.
Tata perundang-undangan diatur
dalam :
1. Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan
perundang-undangan Republik Indonesia.
Urutannya
yaitu :
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) UU;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Keputusan Presiden;
6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) UU;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Keputusan Presiden;
6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
2. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Undang-Undang.
Berdasarkan
ketetapan MPR tersebut, tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :
1) UUD 1945;
2) Tap MPR;
3) UU;
4) Peraturan pemerintah pengganti UU;
5) PP;
6) Keppres;
7) Peraturan Daerah;
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
1) UUD 1945;
2) Tap MPR;
3) UU;
4) Peraturan pemerintah pengganti UU;
5) PP;
6) Keppres;
7) Peraturan Daerah;
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah sebagai berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) UU/Perppu;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) UU/Perppu;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) UU/Perppu;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah Provinsi;
6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) UU/Perppu;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah Provinsi;
6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
5.
Tahapan dan proses lahirnya suatu
kebijakan
Tahap- tahap
kebijakan public menurut William Dunn adalah sebagai berikut:
1.
Penyusunan
Agenda
Agenda setting
adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik
dalam proses ilmiah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai
masalah public dan prioritas dalam agenda public dipertarungkan. Jeika sebuah
isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah public, dan mendapatkan
prioritas dalam agenda public maka isu tersebut berhak mendapatkan aloksai
sumber daya public yang lebih daripada isu lain.
2.
Formulasi
kebijakan
Masalah yang sudah
masuk dalam agenda kebijakan kemudiam dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah
tadi didefinisikan kemudian dicari pemecah masalahn yang terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasalh dari berbagai alternative atau pilihan kebijakan yang ada.
3.
Adopsi/
legitimasi kebijakan
Tujuan legitimasi
adalah untuk memberikan otoritas pada proses dasar pemerintahan. Jika suatu
legistimasi dalam suatu masyarakat diattur oleh kedaulatan rakyat, warga Negara
akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga nefara harus percaya bahwa
tindakan pemerintah yang sah mendukung.
4.
Penilaian
evaluasi kebijakan
Secara umum
evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi
atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam
hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya,
evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan
dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian evaluasi kebijakan bias
meliputi tahap perumusan masalah- masalah kebijakan, program- program yang diusulkan
untuk menyelesaikan masalah kebjakan, implementasi maupun tahap dampak
kebijakan.
6.
Kebijakan ekonomi
pengusahaan hutan di Indonesia
Beberapa
peranan sumberdaya hutan dalam menggerakkan perekonomian suatu negara atau
wilayah/daerah berikut ini.
1.
Peranan Sumberdaya Hutan sebagai Penghasil Devisa
2.
Peranan Sumberdaya Hutan sebagai Penggerak Sektor Ekonomi Lainnya
3.
Peranan Sumberdaya Hutan dalam Penyediaan Lapangan Kerja
4.
Peranan Sumberdaya Hutan dalam Meningkatkan Pendapatan Nasional
5. Peranan
Sumberdaya Hutan dalam Pelayanan Jasa Lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan
Presiden No. 7 Tahun 2005. Bab 32 tentang Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup.
Presiden RI. 2007. UU No 27 Tahun 2007 tentang
RPJP 2005-2025. Setneg RI.
Riana,
T. 2009. Hukum Lingkungan dalam Bidang Ilmu Hukum. Diunduh Melalui .
[12/01/09].
Santosa,
M. A. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. ICEL. Jakarta: YLBHI.
Soemarwoto,
O. 1994. Ekologi Lingkungan dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.
Soerjani.
1987. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Supriadi.
2008. Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar. Jakarta: Sinar Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar